Monday 6 December 2010

Sekar

Sekar

Belum lagi kering janur yang menguning itu dan bebunga melati masih setia berdansa di aduhai rambutmu betapa. Dan di malam yang laik pualam itu, di mana kita menaiki mimpi di pembaringan bintang dan bulan bercengkerama layak anak kecil di awang awan. Adalah cinta. Ya, cinta di malam itu adalah cinta yang istimewa antara kau dan aku, aku dan kau, dan akhirnya menjadi kita. Dan benar bahwa dunia hanya kita yang punya bahkan pun surga. Selain kita tak.

Tetapi entah kenapa tiba tiba di subuh yang melenguh ini kau menyepuh telingaku dengan peluh dari air matamu. Hay, ada apa kekasih? Sungguh. Hay, karena apa kekasih? Aku tak benar benar paham. Lalu kau pun mendadak menyebut nama dan bertanya awal mula dari mana?

"Sekar? Siapa Sekar, mas?.."
"Sekar?!..Siapa pula Perempuan itu?.." Kataku melongo.
"Sudahlah, mas. Tak usah kau bohong!.."
"Aku katakan kepadamu, hay nona manis isteriku. Aku tak mengerti. Benar benar tak mengerti.." Rayuku.

Sedetikdua dia diam dan aku yakin dia makin hanyut di lautan tangis yang mendadak mengiris subuh yang memang telah gerimis dari tengah malam tadi. Ah, matanya menikamku bagai belati. Matanya juga nyala api membakar keras kertas hatiku.

Dalam sesak serak tangis yang miris, "Siapa dia, mas? Siapa dia, Wahyu Sumijo, suamiku?.."
Aku hanya bungkam.

Belum pernah selama ini dia memangilku dengan menyebut namaku lengkap. Tetapi di subuh gerimis ini dirinya bagai badai. Ya, badai yang siap menerjang sesiapa dan apa pun yang menghalang. Aku jangan harap selamat kalau tak benar benar dia cintai.

Aku pandang tepat di matanya. Dan matanya tepat melepaskan anak panah ke arah dadaku. Dan tepat! Sesak semakin meriak di sana. Sesak yang mungkin sama juga di dadanya.

Di subuh gerimis ini suasana semakin asing. Tubuhku pelan pelan mengecil dari pandangan matanya. Perlahan malah hilang dan makin berkubang dalam lubang ketidakpercayaan.

"Sebenarnya aku sudah tau lama, mas! Cuma aku hanya ingin mendengar sendiri dari laki laki yang telah menikahiku ini, tapi sayang sampai di saat sebelum ijab pun kau tak pernah mengatakan padaku, dan kau tau kenapa aku tetap melaksanakan ijab itu? Ya! Karena aku sangat mencintaimu mas. Tapi maaf mas, pagi ini hatiku tak kuat lagi memendamnya, maka aku tanyakan kepadamu, tapi kau masih saja diam.."

Kata katanya bagai aliran listrik dengan voltase maksimal yang menyengatku. Aku limbung di timpa reruntuhan langit serta bumi yang ku pijak tiba tiba terbelah dan siap menelanku bulat bulat. Juga sendi sendi dan urat urat ku terlepas dan kulit wajahku terkupas habis. Hatiku lumpuh jatuh bersimpuh.

Tiba tiba melesat bayangan Sekar Ningrum, kekasih sejatiku yang rencananya akan aku nikahi sebulan lagi tentunya setelah aku ceraikan isteriku. Ya, aku ceraikan isteriku! Walaupun pernikahan kami baru berusia semingu. Terserah angapan semua orang macam bagaimana terhadapku, tapi inilah kenyataannya.

Sayup sayup terdengar suara adzan subuh dari surau di ujung desa.

Di ketika kami sama sama diam dan dendam ini makin demam.

Purwodadi,
01 Desember 2010

No comments:

Post a Comment