Harapan
Inikah ketetapan?
Dan mata mata menatap
Di tangan tangan lelah
Menengadah gundah
Hati, adalah wajah
Siapa yang retak
Siapa yang pecah
Lihat! Lihatlah kami
Mohon, beri kami bibit pohon
Agar dapat kami tanam
Di ladang ladang zaman
Kami anak anakmu
Jangan biarkan mati
Masa depan masih sendiri
A. Sasmita
Rembang,
19 Desember 2010
Friday, 31 December 2010
Jam
Jam
Ada desah tajam
Di tengah malam
Resahmu retak
Pecah berserak
Tik tak tik tak
Tak tik tak tik
Tik tik tak tak
Tak tak tik tik
Tik tak tak tik
Tak tik tik tak
Teng!
Pukul 01:15
Semua harus lepas
Birahi ditumpas
Ranjang napas
Jangan cemas
A. Sasmita
Rembang,
19 Desember 2010
Ada desah tajam
Di tengah malam
Resahmu retak
Pecah berserak
Tik tak tik tak
Tak tik tak tik
Tik tik tak tak
Tak tak tik tik
Tik tak tak tik
Tak tik tik tak
Teng!
Pukul 01:15
Semua harus lepas
Birahi ditumpas
Ranjang napas
Jangan cemas
A. Sasmita
Rembang,
19 Desember 2010
Thursday, 30 December 2010
Mati
Mati
Mati
Berpeti
Di hati
Malam ini
Sendiri
Ngopi
Mimpi
Mau apa lagi
A. Sasmita
Rembang,
18 Desember 2010
Mati
Berpeti
Di hati
Malam ini
Sendiri
Ngopi
Mimpi
Mau apa lagi
A. Sasmita
Rembang,
18 Desember 2010
Wednesday, 29 December 2010
Perjalanan
Perjalanan
Waktu waktu berbatu
Menancap di kakiku
Ada darah membercak
Terpeta di jejak
Kekasih, aku lakilaki
Kau perempuan
Aku kaki kaki
Dan kau jalan
Susuri saja
Walau air mata
A. Sasmita
Rembang,
18 Desember 2010
Waktu waktu berbatu
Menancap di kakiku
Ada darah membercak
Terpeta di jejak
Kekasih, aku lakilaki
Kau perempuan
Aku kaki kaki
Dan kau jalan
Susuri saja
Walau air mata
A. Sasmita
Rembang,
18 Desember 2010
Tuesday, 28 December 2010
Kumbang
Kumbang
Hay, kembang
Ada kumbang
Di matamu
Meramu senyum
Kau yang merindu
Hay, kembang
Aku mata air embun
Melamun di pucuk daun
Mati di pijar matahari
Ah, nyeri
A. Sasmita
Purwodadi,
18 Desember 2010
Hay, kembang
Ada kumbang
Di matamu
Meramu senyum
Kau yang merindu
Hay, kembang
Aku mata air embun
Melamun di pucuk daun
Mati di pijar matahari
Ah, nyeri
A. Sasmita
Purwodadi,
18 Desember 2010
Monday, 27 December 2010
Lahirlah
Lahirlah
Kekasih, lahirlah!
Kalau malam buramkan mata
Kau dapat tajamkan rasa
Biar bulan enggan bicara
Karena mendung bertahta
Kekasih, ada angin yang berbisik
Di dingin dinding dinding hati
Di sana ku tulis: kau
Kekasih, lahirlah!
Bersama cinta, aku titip di angin
Dengarlah bisiknya
"Aku mencintaimu"
Purwodadi,
17 desember 2010
Kekasih, lahirlah!
Kalau malam buramkan mata
Kau dapat tajamkan rasa
Biar bulan enggan bicara
Karena mendung bertahta
Kekasih, ada angin yang berbisik
Di dingin dinding dinding hati
Di sana ku tulis: kau
Kekasih, lahirlah!
Bersama cinta, aku titip di angin
Dengarlah bisiknya
"Aku mencintaimu"
Purwodadi,
17 desember 2010
Sunday, 26 December 2010
Camar
Camar
Camar, kepakan!
Kepakan sayapmu
Tak perlu kau ragu
Karena ragu senantiasa abu
Bikin sesak paru!
Camar, terbanglah!
Terbang
Tak perlu bimbang
Karena bimbang senantiasa kembang
Lambat cepat layu dan tumbang
A. Sasmita
Purwodadi,
15 Desember 2010
Camar, kepakan!
Kepakan sayapmu
Tak perlu kau ragu
Karena ragu senantiasa abu
Bikin sesak paru!
Camar, terbanglah!
Terbang
Tak perlu bimbang
Karena bimbang senantiasa kembang
Lambat cepat layu dan tumbang
A. Sasmita
Purwodadi,
15 Desember 2010
Saturday, 25 December 2010
Ku tulis: kau
Ku tulis: kau
Ning, sudah sedang apakah kau nona?
Ketika aku hanya sanggup membuat bayang
Di bias baris layang
Hati berdesir sendiri
Kalbu bermadu rindu
Benak, cinta menyajak
Aku tergerus lamun
Aku terarus halimun
Aku menulis kau
Di sini
A. Sasmita
Purwodadi,
15 Desember 2010
Ning, sudah sedang apakah kau nona?
Ketika aku hanya sanggup membuat bayang
Di bias baris layang
Hati berdesir sendiri
Kalbu bermadu rindu
Benak, cinta menyajak
Aku tergerus lamun
Aku terarus halimun
Aku menulis kau
Di sini
A. Sasmita
Purwodadi,
15 Desember 2010
Friday, 24 December 2010
Kunang kunang
Kunang kunang
Ada denting yang dentang
Ada bening di benang
Menguning mengenang
Di kening kunang kunang
Dan hening
Terang
A. Sasmita
Purwodadi,
14 Desember 2010
Ada denting yang dentang
Ada bening di benang
Menguning mengenang
Di kening kunang kunang
Dan hening
Terang
A. Sasmita
Purwodadi,
14 Desember 2010
Thursday, 23 December 2010
Empat titik sebelum koma
Empat titik sebelum koma
Empat titik sebelum koma
Ada sepenggal nama
Kau tetap di sana
Aku sengaja
Menera hurup tak terbaca
Biar semua mengeja
Biar menanti kemana angin membawa doa
Empat titik sebelum koma
Ialah empat huruf pengikat hati
Berlari ditelepati
Hanya yang sanggup mengerti
Arti datang sendiri
Nama akan lahir kepada diri
Tanpa celah tanpa tepi
Tak bertapi
Ah, hari ini
Berdenting
Berdentang
Ada bening
Menguning
Di kening
Dan hening
A. Sasmita
Kudus - Pati,
13 Desember 2010
Wednesday, 22 December 2010
Sigaran nyawa
Sigaran nyawa
Katanya kita berjodoh
Menyatu di bebunga waktu
Lantas menetas mengerus batu
Kadang air, air mata menandai tiap peta
Juga jarak, jejak tanggal serak sesak di sajak
Pun hati, jiwa ini nyanyi nyata nyala di puisi
Siapa menggulai gila malamku
Kaukah, menggarami kalam karam kelamku
Hingga tak kurasa legam, lebam dan terbenam
Inikah batas yang selalu terang
Tanpa semut semut mendung awan
. . . ., ingin kususuri
Jalan jalan garis tangan
Denganmu
A. Sasmita
12 Desember 2010
Katanya kita berjodoh
Menyatu di bebunga waktu
Lantas menetas mengerus batu
Kadang air, air mata menandai tiap peta
Juga jarak, jejak tanggal serak sesak di sajak
Pun hati, jiwa ini nyanyi nyata nyala di puisi
Siapa menggulai gila malamku
Kaukah, menggarami kalam karam kelamku
Hingga tak kurasa legam, lebam dan terbenam
Inikah batas yang selalu terang
Tanpa semut semut mendung awan
. . . ., ingin kususuri
Jalan jalan garis tangan
Denganmu
A. Sasmita
12 Desember 2010
Tuesday, 21 December 2010
Babi (dua)
Babi (dua)
Babi! Benar benar babi!
Mereka minta waktu kepadaku. Ah, ada semacam batu berbentuk babi menghantam kepalaku. Aku ngeliyeng tapi jangan harap aku akan lupakan masalah ini. Kau kepala babi.
Babi! Benar benar babi!
Babi! Benar benar babi!
Hey, jangan pernah mengajakku bermain lumpur. Apa sangkamu aku ini babi?
Babi! Benar benar babi!
Aku bukan babi!
Benar benar bukan babi!
Aku ini anjing!
Benar benar anjing!
Siap mengigitmu
A. Sasmita
Rembang,
12 Desember 2010
Babi! Benar benar babi!
Mereka minta waktu kepadaku. Ah, ada semacam batu berbentuk babi menghantam kepalaku. Aku ngeliyeng tapi jangan harap aku akan lupakan masalah ini. Kau kepala babi.
Babi! Benar benar babi!
Babi! Benar benar babi!
Hey, jangan pernah mengajakku bermain lumpur. Apa sangkamu aku ini babi?
Babi! Benar benar babi!
Aku bukan babi!
Benar benar bukan babi!
Aku ini anjing!
Benar benar anjing!
Siap mengigitmu
A. Sasmita
Rembang,
12 Desember 2010
Monday, 20 December 2010
Babi (satu)
Babi (satu)
Babi! Benar benar babi!
Mereka bertubuh manusia tetapi kepala mereka babi
Babi! Benar benar babi!
Babi! Benar benar babi!
Mereka tersenyum ketika ku sampaikan kabar, "Ada halilintar yang menyambar kami!"
Babi! Benar benar babi!
Babi! Benar benar babi!
Aku tak teralu paham, apakah dengan berkepala babi, otak mereka juga babi, cara berpikir mereka juga babi?
Babi! Benar benar babi!
Babi
Baba
Bibi
Babi
Baba
Bibi
Ah, ada yang memangil ku
"Ri.."
A. Sasmita
Rembang,
12 Desember 2010
Babi! Benar benar babi!
Mereka bertubuh manusia tetapi kepala mereka babi
Babi! Benar benar babi!
Babi! Benar benar babi!
Mereka tersenyum ketika ku sampaikan kabar, "Ada halilintar yang menyambar kami!"
Babi! Benar benar babi!
Babi! Benar benar babi!
Aku tak teralu paham, apakah dengan berkepala babi, otak mereka juga babi, cara berpikir mereka juga babi?
Babi! Benar benar babi!
Babi
Baba
Bibi
Babi
Baba
Bibi
Ah, ada yang memangil ku
"Ri.."
A. Sasmita
Rembang,
12 Desember 2010
Sunday, 19 December 2010
Dingin
Dingin
Ialah gigil yang angin di udara tak terbaca
Cuaca ini tanpa bara
Mungkin alpa, ah bercanda
Atau memang ini masanya
Siapa punya dupa?
Beri aku sekedarnya
Ku bakar dengan doa
Menyalalah. Menyala!
Agar aku lewati malam ini yang durjana
. . . . .
. . . ., subuh ini aku rindu kau
Peramu ranum senyum yang gelora
Hangat. Menghangatkan
Raga
Rasa
Jiwa
A. Sasmita
Rembang,
12 Desember 2010
Ialah gigil yang angin di udara tak terbaca
Cuaca ini tanpa bara
Mungkin alpa, ah bercanda
Atau memang ini masanya
Siapa punya dupa?
Beri aku sekedarnya
Ku bakar dengan doa
Menyalalah. Menyala!
Agar aku lewati malam ini yang durjana
. . . . .
. . . ., subuh ini aku rindu kau
Peramu ranum senyum yang gelora
Hangat. Menghangatkan
Raga
Rasa
Jiwa
A. Sasmita
Rembang,
12 Desember 2010
Saturday, 18 December 2010
Ibu air mata, ayah duka lara
Ibu air mata, ayah duka lara
Ibu, kau lahirkan aku saat bulan retak
Sedang ayah masih saja enak arak ditenggak
Ibu, lahir, hidup, mati telah tertulis
Sedang ayah lugas bertugas mengecup cumbu senyum manis
Bibir madu yang bagiku amis
Najis!
Purwodadi,
10 Desember 2010
Ibu, kau lahirkan aku saat bulan retak
Sedang ayah masih saja enak arak ditenggak
Ibu, lahir, hidup, mati telah tertulis
Sedang ayah lugas bertugas mengecup cumbu senyum manis
Bibir madu yang bagiku amis
Najis!
Purwodadi,
10 Desember 2010
Friday, 17 December 2010
Aku tampar wajahmu
Aku tampar wajahmu
Aku tampar wajahmu
Ketika hati tersulut
Api rindu di sudut
Emosi gerus diri
Aku tak tahan lagi
Aku tampar wajahmu
Entah lima atau berapa kali
Bibir berdarah
Di merah cinta yang patah
Tuhan, tanganku panas
Hatiku terkelupas
Tak seharusnya setan ku lepas
Sekarang tertinggal sesal batu
Di sisa tanggal yang baru
Kenapa mesti kau?
Mengandung duka
Tanganku di muka
Maaf...
Aku khilaf
A. Sasmita
Rembang,
05 Desember 2010
Aku tampar wajahmu
Ketika hati tersulut
Api rindu di sudut
Emosi gerus diri
Aku tak tahan lagi
Aku tampar wajahmu
Entah lima atau berapa kali
Bibir berdarah
Di merah cinta yang patah
Tuhan, tanganku panas
Hatiku terkelupas
Tak seharusnya setan ku lepas
Sekarang tertinggal sesal batu
Di sisa tanggal yang baru
Kenapa mesti kau?
Mengandung duka
Tanganku di muka
Maaf...
Aku khilaf
A. Sasmita
Rembang,
05 Desember 2010
Thursday, 16 December 2010
Apa aku tau kehidupan ini?
Apa aku tau kehidupan ini?
: Adik
Adik, apa aku tau kehidupan ini?
Selain bekerja, memulung sampah sampah semesta
Mengurai waktu yang begitu hantu
Agar kita terjaga
Menjaga apa saja
Menjaga harapan, mungkin?
Yang bagi kita senantiasa angin
Adik, apa aku tau kehidupan ini?
Yang begitu debu
Dan kita di dasarnya selalu
Ataukah kita wajib ubah dan halu
Kita tuju arah yang maju
Berikan tanganmu
Ku pegang
Ku genggam
Dan..
Larilah bersamaku
Rembang,
05 Desember 2010
: Adik
Adik, apa aku tau kehidupan ini?
Selain bekerja, memulung sampah sampah semesta
Mengurai waktu yang begitu hantu
Agar kita terjaga
Menjaga apa saja
Menjaga harapan, mungkin?
Yang bagi kita senantiasa angin
Adik, apa aku tau kehidupan ini?
Yang begitu debu
Dan kita di dasarnya selalu
Ataukah kita wajib ubah dan halu
Kita tuju arah yang maju
Berikan tanganmu
Ku pegang
Ku genggam
Dan..
Larilah bersamaku
Rembang,
05 Desember 2010
Wednesday, 15 December 2010
Aku, siapa?
Aku, siapa?
Aku dilahirkan dari cinta yang dendam
Di tiap malam demam
Aku dilahirkan dari mimpi yang karam
Di tiap malam adalah karang
Aku dilahirkan dari doa yang iba
Di tiap malam mantera, menyan dan dupa
Aku dilahirkan dari pusara air mata
Di tiap malam beribu tabur duka
Aku dilahirkan dari jejak jalan dan roda
Di tiap malam ada harap mengangkasa
Aku dilahirkan dari rahim tanya
Di tiap malam ada nganga, siapa?
A. Sasmita
Purwodadi,
03 Desember 2010
Aku dilahirkan dari cinta yang dendam
Di tiap malam demam
Aku dilahirkan dari mimpi yang karam
Di tiap malam adalah karang
Aku dilahirkan dari doa yang iba
Di tiap malam mantera, menyan dan dupa
Aku dilahirkan dari pusara air mata
Di tiap malam beribu tabur duka
Aku dilahirkan dari jejak jalan dan roda
Di tiap malam ada harap mengangkasa
Aku dilahirkan dari rahim tanya
Di tiap malam ada nganga, siapa?
A. Sasmita
Purwodadi,
03 Desember 2010
Wednesday, 8 December 2010
Tuhan, di garis tangan itu, adakah jalan?
Tuhan, di garis tangan itu, adakah jalan?
Malam ini
Langit itu benar benar runtuh
Dalam simpuh sujud yang paling lumpuh
Salahkah aku ingin membunuh?
Tuhan, di garis tangan itu, adakah jalan?
Aku lelaki mendung mengandung kidung duka
Dan setelah malam yang meruntuhkan langit itu, kau tau?
Aku tak akan tidur selamanya
Tuhan, di garis tangan itu, adakah jalan?
Seluruhnya aku nikmati sampai mati
Aku kandung dalam renung mendung
Aku catat cacat dalam urat dan riwayat
Aku langitkan dalam doa paling air mata
Aku lelaki yang berlari dalam puisi
Menghirup hidup dalam ilusi diri
Tuhan, di garis tangan itu, adakah jalan?
Langkahku langkah pecah
Membercak darah
Sampai waktu yang tak aku tau
Bayangan itu menjelma masa lalu
Tuhan, di garis tangan itu, adakah jalan?
Beribu musim bunga bayangan itu memburuku
Sekarang dalam terang menjelma hantu
Tanpa ragu pangkas sangga sangga langitku
Kalbuku hitam memendam geram
Yang awal mula dari mana entah
Aku meradang membaca cuaca
Apa itu adalah lemparan mata mata dadu semata?
Tuhan, di garis tangan itu, adakah jalan?
Ya, Tuhan. Ya, Tuhan..
Malam macam apakah ini?
Menolak pejam
Mata mata dadu itu makin memar
Tertimpa detak retak jarum jam
Berputar berpusat di altar gemetar
Ada gentar yang bundar
Tuhan, di garis tangan itu, adakah jalan?
Dan tawa riang sang bandar
Bandar adalah tuan di permainan
Berhati hutan
Menyesatkan tiap pejalan
Malam ini aku tak sanggup pejam
Tuhan, digaris tangan itu, adakah jalan?
Aku asah dendam
Esok akan tajam
Esok kau, ku tikam
Ingin aku lihat matamu terbenam
Tuhan, di garis tangan itu, adakah jalan?
Tuhan, malam ini
Aku ingin bicara
: berdua
A. Sasmita
Purwodadi,
02 – 03 Desember 2010
Tuesday, 7 December 2010
Monday, 6 December 2010
Sekar
Sekar
Belum lagi kering janur yang menguning itu dan bebunga melati masih setia berdansa di aduhai rambutmu betapa. Dan di malam yang laik pualam itu, di mana kita menaiki mimpi di pembaringan bintang dan bulan bercengkerama layak anak kecil di awang awan. Adalah cinta. Ya, cinta di malam itu adalah cinta yang istimewa antara kau dan aku, aku dan kau, dan akhirnya menjadi kita. Dan benar bahwa dunia hanya kita yang punya bahkan pun surga. Selain kita tak.
Tetapi entah kenapa tiba tiba di subuh yang melenguh ini kau menyepuh telingaku dengan peluh dari air matamu. Hay, ada apa kekasih? Sungguh. Hay, karena apa kekasih? Aku tak benar benar paham. Lalu kau pun mendadak menyebut nama dan bertanya awal mula dari mana?
"Sekar? Siapa Sekar, mas?.."
"Sekar?!..Siapa pula Perempuan itu?.." Kataku melongo.
"Sudahlah, mas. Tak usah kau bohong!.."
"Aku katakan kepadamu, hay nona manis isteriku. Aku tak mengerti. Benar benar tak mengerti.." Rayuku.
Sedetikdua dia diam dan aku yakin dia makin hanyut di lautan tangis yang mendadak mengiris subuh yang memang telah gerimis dari tengah malam tadi. Ah, matanya menikamku bagai belati. Matanya juga nyala api membakar keras kertas hatiku.
Dalam sesak serak tangis yang miris, "Siapa dia, mas? Siapa dia, Wahyu Sumijo, suamiku?.."
Aku hanya bungkam.
Belum pernah selama ini dia memangilku dengan menyebut namaku lengkap. Tetapi di subuh gerimis ini dirinya bagai badai. Ya, badai yang siap menerjang sesiapa dan apa pun yang menghalang. Aku jangan harap selamat kalau tak benar benar dia cintai.
Aku pandang tepat di matanya. Dan matanya tepat melepaskan anak panah ke arah dadaku. Dan tepat! Sesak semakin meriak di sana. Sesak yang mungkin sama juga di dadanya.
Di subuh gerimis ini suasana semakin asing. Tubuhku pelan pelan mengecil dari pandangan matanya. Perlahan malah hilang dan makin berkubang dalam lubang ketidakpercayaan.
"Sebenarnya aku sudah tau lama, mas! Cuma aku hanya ingin mendengar sendiri dari laki laki yang telah menikahiku ini, tapi sayang sampai di saat sebelum ijab pun kau tak pernah mengatakan padaku, dan kau tau kenapa aku tetap melaksanakan ijab itu? Ya! Karena aku sangat mencintaimu mas. Tapi maaf mas, pagi ini hatiku tak kuat lagi memendamnya, maka aku tanyakan kepadamu, tapi kau masih saja diam.."
Kata katanya bagai aliran listrik dengan voltase maksimal yang menyengatku. Aku limbung di timpa reruntuhan langit serta bumi yang ku pijak tiba tiba terbelah dan siap menelanku bulat bulat. Juga sendi sendi dan urat urat ku terlepas dan kulit wajahku terkupas habis. Hatiku lumpuh jatuh bersimpuh.
Tiba tiba melesat bayangan Sekar Ningrum, kekasih sejatiku yang rencananya akan aku nikahi sebulan lagi tentunya setelah aku ceraikan isteriku. Ya, aku ceraikan isteriku! Walaupun pernikahan kami baru berusia semingu. Terserah angapan semua orang macam bagaimana terhadapku, tapi inilah kenyataannya.
Sayup sayup terdengar suara adzan subuh dari surau di ujung desa.
Di ketika kami sama sama diam dan dendam ini makin demam.
Purwodadi,
01 Desember 2010
Belum lagi kering janur yang menguning itu dan bebunga melati masih setia berdansa di aduhai rambutmu betapa. Dan di malam yang laik pualam itu, di mana kita menaiki mimpi di pembaringan bintang dan bulan bercengkerama layak anak kecil di awang awan. Adalah cinta. Ya, cinta di malam itu adalah cinta yang istimewa antara kau dan aku, aku dan kau, dan akhirnya menjadi kita. Dan benar bahwa dunia hanya kita yang punya bahkan pun surga. Selain kita tak.
Tetapi entah kenapa tiba tiba di subuh yang melenguh ini kau menyepuh telingaku dengan peluh dari air matamu. Hay, ada apa kekasih? Sungguh. Hay, karena apa kekasih? Aku tak benar benar paham. Lalu kau pun mendadak menyebut nama dan bertanya awal mula dari mana?
"Sekar? Siapa Sekar, mas?.."
"Sekar?!..Siapa pula Perempuan itu?.." Kataku melongo.
"Sudahlah, mas. Tak usah kau bohong!.."
"Aku katakan kepadamu, hay nona manis isteriku. Aku tak mengerti. Benar benar tak mengerti.." Rayuku.
Sedetikdua dia diam dan aku yakin dia makin hanyut di lautan tangis yang mendadak mengiris subuh yang memang telah gerimis dari tengah malam tadi. Ah, matanya menikamku bagai belati. Matanya juga nyala api membakar keras kertas hatiku.
Dalam sesak serak tangis yang miris, "Siapa dia, mas? Siapa dia, Wahyu Sumijo, suamiku?.."
Aku hanya bungkam.
Belum pernah selama ini dia memangilku dengan menyebut namaku lengkap. Tetapi di subuh gerimis ini dirinya bagai badai. Ya, badai yang siap menerjang sesiapa dan apa pun yang menghalang. Aku jangan harap selamat kalau tak benar benar dia cintai.
Aku pandang tepat di matanya. Dan matanya tepat melepaskan anak panah ke arah dadaku. Dan tepat! Sesak semakin meriak di sana. Sesak yang mungkin sama juga di dadanya.
Di subuh gerimis ini suasana semakin asing. Tubuhku pelan pelan mengecil dari pandangan matanya. Perlahan malah hilang dan makin berkubang dalam lubang ketidakpercayaan.
"Sebenarnya aku sudah tau lama, mas! Cuma aku hanya ingin mendengar sendiri dari laki laki yang telah menikahiku ini, tapi sayang sampai di saat sebelum ijab pun kau tak pernah mengatakan padaku, dan kau tau kenapa aku tetap melaksanakan ijab itu? Ya! Karena aku sangat mencintaimu mas. Tapi maaf mas, pagi ini hatiku tak kuat lagi memendamnya, maka aku tanyakan kepadamu, tapi kau masih saja diam.."
Kata katanya bagai aliran listrik dengan voltase maksimal yang menyengatku. Aku limbung di timpa reruntuhan langit serta bumi yang ku pijak tiba tiba terbelah dan siap menelanku bulat bulat. Juga sendi sendi dan urat urat ku terlepas dan kulit wajahku terkupas habis. Hatiku lumpuh jatuh bersimpuh.
Tiba tiba melesat bayangan Sekar Ningrum, kekasih sejatiku yang rencananya akan aku nikahi sebulan lagi tentunya setelah aku ceraikan isteriku. Ya, aku ceraikan isteriku! Walaupun pernikahan kami baru berusia semingu. Terserah angapan semua orang macam bagaimana terhadapku, tapi inilah kenyataannya.
Sayup sayup terdengar suara adzan subuh dari surau di ujung desa.
Di ketika kami sama sama diam dan dendam ini makin demam.
Purwodadi,
01 Desember 2010
Sunday, 5 December 2010
Maaf
Maaf
Seperti pengap
Mendadak meyeruak
Di serak sesak rongga dada
Malam ini
Langit itu benar benar runtuh
Dalam simpuh sujud yang paling lumpuh
Salahkah aku ingin membunuh
Kau, aku maafkan...
Purwodadi,
02 Desember 2010
A. Sasmita
Seperti pengap
Mendadak meyeruak
Di serak sesak rongga dada
Malam ini
Langit itu benar benar runtuh
Dalam simpuh sujud yang paling lumpuh
Salahkah aku ingin membunuh
Kau, aku maafkan...
Purwodadi,
02 Desember 2010
A. Sasmita
Saturday, 4 December 2010
Cintaku, cintamu
Cintaku, cintamu
Cintaku hanya tanya
Cintamu bukan hanya karena
Cintaku berapi nyata
Cintamu mentari nyala
Cintaku purba
Cintamu purna
Cintaku jompa jampi mantera
Cintamu untai rinai doa
Cintaku bergula cendana
Cintamu berlagu rerimbun cemara
Cintaku baris baris berhala
Cintamu satu yang Esa
Cintaku
Cintamu
Aku
Kamu
Kamu
Aku
Aku
Kamu
Kamu
Aku
Aku
Aku
Kamu
Kamu
Dia,
Siapa?
Purwodadi,
30 November 2010
Cintaku hanya tanya
Cintamu bukan hanya karena
Cintaku berapi nyata
Cintamu mentari nyala
Cintaku purba
Cintamu purna
Cintaku jompa jampi mantera
Cintamu untai rinai doa
Cintaku bergula cendana
Cintamu berlagu rerimbun cemara
Cintaku baris baris berhala
Cintamu satu yang Esa
Cintaku
Cintamu
Aku
Kamu
Kamu
Aku
Aku
Kamu
Kamu
Aku
Aku
Aku
Kamu
Kamu
Dia,
Siapa?
Purwodadi,
30 November 2010
Friday, 3 December 2010
Bukalah
Bukalah
Rinduku kelabu
Mengasapi kalbu
Di daun itu
Berpintu
Buka, bukalah
Kekasih
Pati,
29 November 2010
Rinduku kelabu
Mengasapi kalbu
Di daun itu
Berpintu
Buka, bukalah
Kekasih
Pati,
29 November 2010
Saturday, 27 November 2010
Sayang
Sayang
Sayang, benarkah bimbang itu yang kau bilang
Ketika kita sepasang benang dan layang layang
Mengapung di awang awan siang
Membayang riang
Ah, sayang
Mata itu senantiasa pedang
Jembatan jabat pandang
Membentang
Masih kita tatap nyalang
Di dekap pengap demam
Aku meriang
Ah, sayang
Di angkasa itu
Di suaka cinta
Kita ramu jamu bermadu
Muara kata kata rindu
Kidung mendung kita larung tanpa ragu
Ah, sayang
Aku mabuk kepayang
Senyum ranum harum kembang
Bius bisu ribu kumbang
Ah, sayang
Hatiku terhanyut
Kembarai hidup yang paling laut
Sendiri berperahu layar
Sedang kau adalah suar
Penanda tiap berlayar
Ah, sayang
Ekor matamu penjarakan aku
Dalam kisah cinta yang tak berujung
Seperti tanjung
Senantiasa mencumbui ombak, laut dan badai
Membingkai aroma yang paling derai
Ah, sayang
kadang kau juga camar
Teman tiap berlayar
Pandulah aku berlayar
Jelang tanjung harapan
(A Sasmita Nasution)
Purwodadi,
18 - 25 November 2010
Sayang, benarkah bimbang itu yang kau bilang
Ketika kita sepasang benang dan layang layang
Mengapung di awang awan siang
Membayang riang
Ah, sayang
Mata itu senantiasa pedang
Jembatan jabat pandang
Membentang
Masih kita tatap nyalang
Di dekap pengap demam
Aku meriang
Ah, sayang
Di angkasa itu
Di suaka cinta
Kita ramu jamu bermadu
Muara kata kata rindu
Kidung mendung kita larung tanpa ragu
Ah, sayang
Aku mabuk kepayang
Senyum ranum harum kembang
Bius bisu ribu kumbang
Ah, sayang
Hatiku terhanyut
Kembarai hidup yang paling laut
Sendiri berperahu layar
Sedang kau adalah suar
Penanda tiap berlayar
Ah, sayang
Ekor matamu penjarakan aku
Dalam kisah cinta yang tak berujung
Seperti tanjung
Senantiasa mencumbui ombak, laut dan badai
Membingkai aroma yang paling derai
Ah, sayang
kadang kau juga camar
Teman tiap berlayar
Pandulah aku berlayar
Jelang tanjung harapan
(A Sasmita Nasution)
Purwodadi,
18 - 25 November 2010
Friday, 26 November 2010
Jembatan
Jembatan
Menghubungkan rambat
Melangkahkan derap
Menyatukan jarak
Tak menjerat
Tak mengikat
Tak akan ku biar retak
Jembatan
Dari dua menjadi satu
Oh, aroma aroma itu
Adakah rindu?
Ku lewati makin laju
Rembang,
22 November 2010
Menghubungkan rambat
Melangkahkan derap
Menyatukan jarak
Tak menjerat
Tak mengikat
Tak akan ku biar retak
Jembatan
Dari dua menjadi satu
Oh, aroma aroma itu
Adakah rindu?
Ku lewati makin laju
Rembang,
22 November 2010
Thursday, 25 November 2010
Persimpangan
Persimpangan
Mereka bersilangan
Di pagi yang merambat siang
Sepeda, becak, motor, mobil, bis dan para pejalan kaki
Merentas mencari sesuap nasi
Kemana mereka pergi?
Aku usang sendiri di tepi
Matahari itu, lidah lidah api
Bakar tubuh dan hati
Sedang aku adalah kayu
Bernasip arang atau abu
Rembang,
22 November 2010
Mereka bersilangan
Di pagi yang merambat siang
Sepeda, becak, motor, mobil, bis dan para pejalan kaki
Merentas mencari sesuap nasi
Kemana mereka pergi?
Aku usang sendiri di tepi
Matahari itu, lidah lidah api
Bakar tubuh dan hati
Sedang aku adalah kayu
Bernasip arang atau abu
Rembang,
22 November 2010
Tuesday, 23 November 2010
Tersesat
Tersesat
Membara dalam ingat
Memburu kalam nikmat
Membaru di legam riwayat
Membaur di karam urat
Ini jerat
Kini serat
Mencekat
Tersesat
Karat pun pucat
Purwodadi,
19 November 2010
Membara dalam ingat
Memburu kalam nikmat
Membaru di legam riwayat
Membaur di karam urat
Ini jerat
Kini serat
Mencekat
Tersesat
Karat pun pucat
Purwodadi,
19 November 2010
Monday, 22 November 2010
Patung
Patung
Yang diam yang usang
Di dingin dinding dinding ruang
Batas membatu di rindu tertuang
Kian gamang kian remang
Remang, di mata mataku meriang
Meriang, di hati hatiku meliang
Meliang, di jiwa jiwaku berpalung
Berpalung, di tubuh tubuhku mematung
Patung
Membisu dalam renung
Purwodadi,
18 November 2010
Yang diam yang usang
Di dingin dinding dinding ruang
Batas membatu di rindu tertuang
Kian gamang kian remang
Remang, di mata mataku meriang
Meriang, di hati hatiku meliang
Meliang, di jiwa jiwaku berpalung
Berpalung, di tubuh tubuhku mematung
Patung
Membisu dalam renung
Purwodadi,
18 November 2010
Sunday, 21 November 2010
Secangkir kopi
Secangkir kopi
Di sini
Mimpiku menepi
Di secangkir kopi
Dan bisu
Merayu lagu
Kopi ini
Cangkir ini
Sedingin hati
Rembang,
17 November 2010
Di sini
Mimpiku menepi
Di secangkir kopi
Dan bisu
Merayu lagu
Kopi ini
Cangkir ini
Sedingin hati
Rembang,
17 November 2010
Saturday, 20 November 2010
Mata
Mata
Dan di mana, adakah di sana
Sepanjang pandang cakrawala
Ataukah itu dunia
Memajang gambar tanpa nama
Sepintas menjawab beribu doa
Dan. Memang di sana
Dunia tanda baca
Bukan titik.
Bukan koma,
Melainkan tanda tanya?
Mata
Selalu tak terpeta
Juga tak terbaca
Lahir bebunga rasa
Bermekaran dalam asa
Menuliskan sebuah alamat
Yang melukis amanat
Rembang,
17 November 2010
Dan di mana, adakah di sana
Sepanjang pandang cakrawala
Ataukah itu dunia
Memajang gambar tanpa nama
Sepintas menjawab beribu doa
Dan. Memang di sana
Dunia tanda baca
Bukan titik.
Bukan koma,
Melainkan tanda tanya?
Mata
Selalu tak terpeta
Juga tak terbaca
Lahir bebunga rasa
Bermekaran dalam asa
Menuliskan sebuah alamat
Yang melukis amanat
Rembang,
17 November 2010
Friday, 19 November 2010
Punggung
Punggung
Diketika waktu mendadak rubah
Aku sempat biarkan punggung ini rebah?
Ketika Ia titipkan sesuatu
Apakah Ia seyakin itu ke aku
Lalu seketika semua telah di tentukan
Tak mungkin tak ada jalan
Baiklah aku lebarkan punggung itu
Bahkan telah serupa layar layar di perahu
Ketika harus ada yang dikorbankan
Aku korbankan hati
Walau kian berkobar
Walau masih berdebar
Binar ini aku biar
Dan aku tatap nanar
Tapi aku yakin itu benar
Memang hidup pilihan
Moga kau pilihan Tuhan
Purwodadi,
17 November 2010
Diketika waktu mendadak rubah
Aku sempat biarkan punggung ini rebah?
Ketika Ia titipkan sesuatu
Apakah Ia seyakin itu ke aku
Lalu seketika semua telah di tentukan
Tak mungkin tak ada jalan
Baiklah aku lebarkan punggung itu
Bahkan telah serupa layar layar di perahu
Ketika harus ada yang dikorbankan
Aku korbankan hati
Walau kian berkobar
Walau masih berdebar
Binar ini aku biar
Dan aku tatap nanar
Tapi aku yakin itu benar
Memang hidup pilihan
Moga kau pilihan Tuhan
Purwodadi,
17 November 2010
Thursday, 18 November 2010
Pusara
Pusara
Memendam duka cita
Melahirkan air mata
Melangitkan doa doa
Beribu tabur bunga
Jasad jasad tanpa nama
Kau, aku atau mereka
Siapa berduka?
Rembang,
06 November 2010
Memendam duka cita
Melahirkan air mata
Melangitkan doa doa
Beribu tabur bunga
Jasad jasad tanpa nama
Kau, aku atau mereka
Siapa berduka?
Rembang,
06 November 2010
Saturday, 6 November 2010
Mencumbu Malam
Mencumbu Malam
Malam, aku ingin tidur di selangkangan mu
Agar dapat ku cumbui aroma persetubuhan
Biarkan kulit kulit ku melepuh
Karena membuahi cinta yang berpeluh
Dan ketika nafas nafas mu adalah gelinjang
Akulah jalang yang telanjang
Biarkan desah gairahku lepas
Biarkan semua tertumpas
Biarkan ku teguk birahimu
Kau reguk birahiku
Tanpa tepi
Sampai pagi
Purwodadi,
04 November 2010
Malam, aku ingin tidur di selangkangan mu
Agar dapat ku cumbui aroma persetubuhan
Biarkan kulit kulit ku melepuh
Karena membuahi cinta yang berpeluh
Dan ketika nafas nafas mu adalah gelinjang
Akulah jalang yang telanjang
Biarkan desah gairahku lepas
Biarkan semua tertumpas
Biarkan ku teguk birahimu
Kau reguk birahiku
Tanpa tepi
Sampai pagi
Purwodadi,
04 November 2010
Mendongeng madu
Mendongeng madu
"Nak, telah larut. Tidurlah!.."
"Tidak Bu, sebelum kau dongengkan madu.."
"Nak, bukankah malam kemarin sudah!.."
"Aku ingin tiap malam, Bu.."
"Apa kau tak bosan, Nak?.."
"Tidak, Bu. Karena aku mencintainya.."
"Baiklah. Rebahkan kepalamu dipangkuanku!.."
Detak jarum jam
Rayapi malam
Lebih dalam
Lebih dalam
"Suatu hari Madu.."
Bla.. Bla..
Blai.. Blai..
Bla.. Bla..
Blai.. Blai..
Selalu tertidur
Ketika air matanya rembes di pipiku
"Ibu, madu terlalu asin.."
Rembang,
01 November 2010
"Nak, telah larut. Tidurlah!.."
"Tidak Bu, sebelum kau dongengkan madu.."
"Nak, bukankah malam kemarin sudah!.."
"Aku ingin tiap malam, Bu.."
"Apa kau tak bosan, Nak?.."
"Tidak, Bu. Karena aku mencintainya.."
"Baiklah. Rebahkan kepalamu dipangkuanku!.."
Detak jarum jam
Rayapi malam
Lebih dalam
Lebih dalam
"Suatu hari Madu.."
Bla.. Bla..
Blai.. Blai..
Bla.. Bla..
Blai.. Blai..
Selalu tertidur
Ketika air matanya rembes di pipiku
"Ibu, madu terlalu asin.."
Rembang,
01 November 2010
Friday, 5 November 2010
Aku lapar (dua)
Aku lapar (dua)
"Nak, telah matang. Kapan kau makan?.."
"Sekarang, Bu.."
"Tapi masih panas, Nak!.."
"Tak apa, Bu.."
"Baik. Kuhidangkan, kudinginkan untuk mu, Nak!.."
"Terima kasih. Aku mencintaimu, Bu.."
"Makanlah. Setelahnya kau tidur, Nak!.."
"Iya, Bu.."
Masih jangkrik jangkrik
Ceritakan rembulan
Masih bintang bintang
Celotehkan angan
Dan malam
"Bu, dongengkan aku madu!.."
Rembang,
31 Oktober 2010
"Nak, telah matang. Kapan kau makan?.."
"Sekarang, Bu.."
"Tapi masih panas, Nak!.."
"Tak apa, Bu.."
"Baik. Kuhidangkan, kudinginkan untuk mu, Nak!.."
"Terima kasih. Aku mencintaimu, Bu.."
"Makanlah. Setelahnya kau tidur, Nak!.."
"Iya, Bu.."
Masih jangkrik jangkrik
Ceritakan rembulan
Masih bintang bintang
Celotehkan angan
Dan malam
"Bu, dongengkan aku madu!.."
Rembang,
31 Oktober 2010
Aku lapar (satu)
Aku lapar (satu)
Dan mendadak lalu
Ketika ibu menanak kelu
"Malam ini kau harus tidur, Nak!.."
"Tapi aku lapar, Bu.."
"Sabar, Nak. Sebentar lagi matang. Dan kita makan pilu!.."
"Ku tunggu, Bu.."
Dan jangkrik jangkrik
Bercerita tentang rembulan
Menikmati malam
Untung sedang tak berhujan
Dan bintang bintang
Berceloteh tentang angan
Selalu banyak jalan
Tapi satu jalan pulang
Rembang,
31 Oktober 2010
Dan mendadak lalu
Ketika ibu menanak kelu
"Malam ini kau harus tidur, Nak!.."
"Tapi aku lapar, Bu.."
"Sabar, Nak. Sebentar lagi matang. Dan kita makan pilu!.."
"Ku tunggu, Bu.."
Dan jangkrik jangkrik
Bercerita tentang rembulan
Menikmati malam
Untung sedang tak berhujan
Dan bintang bintang
Berceloteh tentang angan
Selalu banyak jalan
Tapi satu jalan pulang
Rembang,
31 Oktober 2010
Thursday, 4 November 2010
Seperti hati
Seperti hati
Seperti perpisahan
Senantiasa berharap pertemuan
Seperti pergi
Senantiasa berharap kembali
Seperti gunung gunung
Senantiasa mengandung gaung
Seperti bukit bukit
Senantiasa memendam jerit
Seperti mercusuar
Penanda tiap berlayar
Inikah?..
Lalu hening,
Dan daun daun menguning
Pun bunga bunga kering
Angin mendadak menanak dingin
Dan ketika subuh,
Tubuh lumpuh rubuh bersimpuh
Lahirkan debar samar yang berkobar
Seperti hati
Tiap kata adalah nyanyi
Semi di puisi
Purwodadi,
28 Oktober 2010
Seperti perpisahan
Senantiasa berharap pertemuan
Seperti pergi
Senantiasa berharap kembali
Seperti gunung gunung
Senantiasa mengandung gaung
Seperti bukit bukit
Senantiasa memendam jerit
Seperti mercusuar
Penanda tiap berlayar
Inikah?..
Lalu hening,
Dan daun daun menguning
Pun bunga bunga kering
Angin mendadak menanak dingin
Dan ketika subuh,
Tubuh lumpuh rubuh bersimpuh
Lahirkan debar samar yang berkobar
Seperti hati
Tiap kata adalah nyanyi
Semi di puisi
Purwodadi,
28 Oktober 2010
Topeng kita
Topeng kita
Dan topeng topeng itu berkaca
Di wajah memar luka
Duka senantiasa derita
Lara tiba tiba apa hanya karena
Jiwa jiwa merongga binasa
Jiwa jiwa meregang nyawa
Dan mereka selalu senantiasa kita
Mentawai, tsunami
Merapi berpijar lagi
Tuhan, ini kami
Topeng topeng kertas
Topeng topeng keras
Topeng topeng kapas
Topeng topeng culas
Topeng topeng tak berbelas
Topeng itu
Topeng ini
Topeng sana
Topeng sini
Ya, Tuhan..
Ampuni kami
Terima saudara kami
Pray for Indonesia
Purwodadi,
27 Oktober 2010
Dan topeng topeng itu berkaca
Di wajah memar luka
Duka senantiasa derita
Lara tiba tiba apa hanya karena
Jiwa jiwa merongga binasa
Jiwa jiwa meregang nyawa
Dan mereka selalu senantiasa kita
Mentawai, tsunami
Merapi berpijar lagi
Tuhan, ini kami
Topeng topeng kertas
Topeng topeng keras
Topeng topeng kapas
Topeng topeng culas
Topeng topeng tak berbelas
Topeng itu
Topeng ini
Topeng sana
Topeng sini
Ya, Tuhan..
Ampuni kami
Terima saudara kami
Pray for Indonesia
Purwodadi,
27 Oktober 2010
Wednesday, 3 November 2010
Sendiri
Sendiri
Senantiasa mengenapi sepi
Mengeluti mimpi menanyakan hati
Jalan pulang mendadak sunyi
Ah, bayangan itu lagi..
Sebaiknya aku menepi
Kembali asah belati
Lalu galau dan kemarau
Meranjau
Purwodadi, 26 oktober 2010
Senantiasa mengenapi sepi
Mengeluti mimpi menanyakan hati
Jalan pulang mendadak sunyi
Ah, bayangan itu lagi..
Sebaiknya aku menepi
Kembali asah belati
Lalu galau dan kemarau
Meranjau
Purwodadi, 26 oktober 2010
Tersiksa
Tersiksa
: Ning
Tersiksa
Benar benar tersiksa
Aku mencoba menidurkan malam dalam pangkuan mu
Malam yang betapa sungguh sangat kelam
Dan mendadak senyum rembulan lebam
Tergerus mendung awan
Kau tau, kekasih?
Rindu itu sungguh madu
Madu itu sungguh candu
Candu itu perahu
Berlayar di tiap debar dan getar
Hati, ah selalu hati
Malam ini
Hitam kini
Legam di sini
Diam diam berdentam
Purwodadi, 22 Oktober 2010
: Ning
Tersiksa
Benar benar tersiksa
Aku mencoba menidurkan malam dalam pangkuan mu
Malam yang betapa sungguh sangat kelam
Dan mendadak senyum rembulan lebam
Tergerus mendung awan
Kau tau, kekasih?
Rindu itu sungguh madu
Madu itu sungguh candu
Candu itu perahu
Berlayar di tiap debar dan getar
Hati, ah selalu hati
Malam ini
Hitam kini
Legam di sini
Diam diam berdentam
Purwodadi, 22 Oktober 2010
Wednesday, 20 October 2010
Puisi terakhir
Puisi terakhir
Malam ini, aku melangitkan renung doa doa
Senandung paling palung dari air mata
Ketika bunga berbunga merah sewarna tanah
Lahirhadir di pusara relung raung mata air hati
Kepada darah nanah yang memerah luka
Karena tertujah tajam pisau puisi kata
Dalam diri, aku langitkan lagi renung doa doa
Senantiasa aku kaitkan kidung asa dan cinta
Agar dapat menenun mendung menjadi cahaya
Duh, Gusti...
Saat begini mengapa hujan bertandang
Karena ketika hujan, aku tak tau jalan pulang
Ning, sekarang aku tau dimana surga
Bukan hanya kaki ibu yang terbaca
Ada hati, rasa, jiwa, tawa, gembira, cinta, kasih, rindu, sendu, tangis, rintih, sedih, pedih, duka, lara, derita, nafas, cemas, ruh, darah, dan tubuhnya
Semua itu surga, kekasih
Semua itu bahagia, kekasih
Ini puisi terakhir
Karena aku kembali lahir
Rembang, 18 Oktober 2010
Malam ini, aku melangitkan renung doa doa
Senandung paling palung dari air mata
Ketika bunga berbunga merah sewarna tanah
Lahirhadir di pusara relung raung mata air hati
Kepada darah nanah yang memerah luka
Karena tertujah tajam pisau puisi kata
Dalam diri, aku langitkan lagi renung doa doa
Senantiasa aku kaitkan kidung asa dan cinta
Agar dapat menenun mendung menjadi cahaya
Duh, Gusti...
Saat begini mengapa hujan bertandang
Karena ketika hujan, aku tak tau jalan pulang
Ning, sekarang aku tau dimana surga
Bukan hanya kaki ibu yang terbaca
Ada hati, rasa, jiwa, tawa, gembira, cinta, kasih, rindu, sendu, tangis, rintih, sedih, pedih, duka, lara, derita, nafas, cemas, ruh, darah, dan tubuhnya
Semua itu surga, kekasih
Semua itu bahagia, kekasih
Ini puisi terakhir
Karena aku kembali lahir
Rembang, 18 Oktober 2010
Tuesday, 19 October 2010
Bicara tanpa kata
Bicara tanpa kata
Bisu di tungku
Tak lain debu
Biru legam
Tak lain ungu lebam
Candu di senyum
Tak lain bunga sekuntum
Madu di serat serat hati
Tak lain sekat sekat diri
Cinta itu berhala
Bergula harum cendana
Berlagu doa dan mantera
Berluka jika tak bicara
Berduka andai tak terkata
Ketika nyata
Kian nyala
Luruh seluruhNya
Ning
Rembang,
17 Oktober 2010
Bisu di tungku
Tak lain debu
Biru legam
Tak lain ungu lebam
Candu di senyum
Tak lain bunga sekuntum
Madu di serat serat hati
Tak lain sekat sekat diri
Cinta itu berhala
Bergula harum cendana
Berlagu doa dan mantera
Berluka jika tak bicara
Berduka andai tak terkata
Ketika nyata
Kian nyala
Luruh seluruhNya
Ning
Rembang,
17 Oktober 2010
Monday, 18 October 2010
Senandung mendung, kidung berkerudung
Senandung mendung, kidung berkerudung
Senandung mendung gulung bergulung di langit
Di gunung gunung dan di bukit bukit
Menyanyikan menyajikan lagu cita cinta yang pucat pudar
Seperti luka gula duka derita perdu dan belukar
Aku ini batu
Beribu ragu
Aku ini debu
Semisal abu
Di tungku
Aku benci waktu
Senantiasa hantu
Kita tau
Keraguan itu busuk
Ketakutan itu terkutuk
Keheningan itu menusuk rusuk
Ning
Kidung ini berkerudung
Jangan kau kandung
Rembang,
17 Oktober 2010
Senandung mendung gulung bergulung di langit
Di gunung gunung dan di bukit bukit
Menyanyikan menyajikan lagu cita cinta yang pucat pudar
Seperti luka gula duka derita perdu dan belukar
Aku ini batu
Beribu ragu
Aku ini debu
Semisal abu
Di tungku
Aku benci waktu
Senantiasa hantu
Kita tau
Keraguan itu busuk
Ketakutan itu terkutuk
Keheningan itu menusuk rusuk
Ning
Kidung ini berkerudung
Jangan kau kandung
Rembang,
17 Oktober 2010
Kerinduan
Kerinduan
Kekasih
Kerinduan itu malam
Diam diam bergaram
Mengerak di cawan
Mengerang di hujan
Menggarang di mendung awan
Kerinduan ini buram
Kian diam
Kian lebam
Ya Tuhan
Ya Tuhan
Ning
Purwodadi,
14 Oktober 2010
Kekasih
Kerinduan itu malam
Diam diam bergaram
Mengerak di cawan
Mengerang di hujan
Menggarang di mendung awan
Kerinduan ini buram
Kian diam
Kian lebam
Ya Tuhan
Ya Tuhan
Ning
Purwodadi,
14 Oktober 2010
Subscribe to:
Posts (Atom)